Oleh Manggar Kesuma Ayu
RUBRIK Ragam Suara Merdeka 1 Mei 2009, menurunkan tulisan tentang ”Kolam Terpal untuk Lele Dumbo”. Sangat menarik, karena memberi wacana bahwa berkolam ikan bisa dibuat mudah, selain murah. Pengalaman kita juga demikian. Yang agak mengganggu adalah sub judul tentang ”Rutin Mengganti Air”. Ini masalah klasik yang tidak sederhana, pekerjaan melelahkan yang membuat orang ragu untuk masuk dunia kolam ikan. Fakta di lapangan, bengkaknya biaya operasional antara lain terlahir karena rutinitas penggantian air.
Kolam ikan dengan rutin ganti air, petunjuk pendekatan kolam masih konvensional. Orang masuk dunia kolam ikan biasanya latah karena orang lain berhasil bermain ikan. Mereka berpikir terlalu simpel bahwa kolam ikan hanya menyangkut penyediaan bak air (bisa kolam tanah, beton atau terpal), ikan dan pakan dari kosentrat. Alih-alih membayangkan panen, ternyata menuai kegagalan. Hasil produksi tidak sebanding dengan melambungnya biaya produksi. Kenyataan ini yang membuat tidak sedikit dari para pelaku kolam ikan yang akhirnya membiarkan bak kolamnya kosong, untuk tidak menyebutnya sebagai bangkrut dengan investasi yang percuma.
Menyebut masalah yang muncul dari pola kolam konvensional antara lain adalah : 1) Kolam bau busuk. Ini terjadi karena polusi dari pembusukan kotoran ikan, selain dari sisa pakan ikan yang tidak termakan. 2) Angka kematian tinggi. Ini akibat tingginya polusi air kolam. 3) Bea pakan tinggi. Pakan biasanya tergantung dari kosentrat. Ada postulat input pakan = out put daging ikan. Pola ini rentan terhadap perubahan harga pasar, yaitu ketika harga ikan turun atau pakan naik. 3) Bea operasional tinggi. Rutinitas ganti air untuk atasi polusi, berakibat bengkaknya bea operasional yang terkait dengan bea listrik, bahan bakar dan tenaga kerja. 4) Surplus pendapatan minim (kalau tidak malah gagal panen - rugi)
Mari kita belajar dari dari kolam ikan alam seperti di sungai, laut, rawa-rawa atau danau. Secara sepesifik, di tempat-tempat ini ada air tergenang. Ada jumlah ikan dengan variasi cukup dan bahkan ada yang sangat besar seperti ikan paus. Yang menarik, siapa yang pernah menebar bibit, memberi pakan dan yang mengganti air. Bila ada penggantian air, menunggu hujan turun di mana mata air mengalir dan air hujan menyentuh sudut-sudut rawa dan laut. Ada yang luar biasa dari kolam alam buatan pemilik langit ini, yaitu bahwa adanya ekosistem yang hidup. Sudah barang tentu, yang kurang dari kolam konvensional, karena para pengkolam tidak pernah memasukkan kosep ekosistem dalam pola kolam ikan mereka.
EKOSISTEM BUATAN
Konsep ekosistem kolam, ini yang sering dilontarkan seorang Dr. Sugeng Hariadi, S.Pd alumnus Fakultas Kedokteran Undip yang konon juga pernah kuliah di IKIP Semarang. Menurut Ketua LKPS ”BHAKTI NUSA” Jombang ini, bila ekosistem kolam ikan hidup, dapat memberi solusi terhadap persoalan kolam ikan hingga layaknya di sungai dan laut. Tidak berbau, angka kematian yang nyaris limit, tidak perlu ganti air, pernurunan bea kosentrat dan tentu, keuntungan hasil panen yang ok.
Apa yang disampaikan Dr Sugeng bukan isapan jempol. Percobaan demi percobaan yang dilakukan di laboratorium kolam miliknya di dusun Sidokampir – Sumobito – Jombang, memberi konklusi bahwa ekosistim buatan adalah sesuatu yang vital dalam pengembangan kolam ikan. Untuk ini, kolam ikan miliknya diberi fasilitas bis beton, yang menurutnya, berfungsi sebagai regulator ekosistem (baca : Bis Beton, Regulator Ekosistem Kolam Ikan).
Dasar berpikirnya adalah pelajaran biologi waktu di sekolah menengah, tentang konsep rantai makanan, yaitu hubungan antara produsen – konsumen dan bakteri pengurai (produsen di makan konsumen, kunsumen mati membawa bakteri pengurai yang dapat meningkatkan kesuburan dan menjadi basis kehidupan konsumen). Rantai makanan ini menjelaskan bahwa bakteri pengurai harus dilihat sebagai komponen dari proses produksi. Tetapi salah kita, bakteri pengurai tidak pernah kita dilibatkan dalam proses produksi.
Adakah seorang petani yang berpikir memperkaya biota tanah (kehidupan dalam tanah) dengan aplikasi mikrobiologis dalam proses pengolahan tanahnya, demikian Dr Sugeng sering mengatakan. Peran bakteri pengurai sangat besar, khusunya dalam proses dekomposisi dan fermentasis bahan organik (baca : Tentang Prikanan Organik). Untuk kolam ikan, bakteri pengurai mengambil peran dalam mengurai kotoran ikan dan sisa makanan yang tak termakan. Kandungan organik komplek pada kotoran ikan dan sisa pakan, akan diurai menjadi unsur-unsur organik yang selanjutnya unsur organik akan merangsang tumbuhnya plankton (makanan alamiah ikan). Dengan kata lain, bakteri pengurailah yang meregulasi ekosistem kolam alam.
Aplikasi mikrobiologis (probiotik kolam) akhirnya menjadi pilihan solusi untuk kolam ikan. Kotoran ikan dan sisa pakan yang tidak termakan, yang berpotensi menjadi polutan bisa diubah menjadi sesuatu yang produktif untuk kolam. Pada kolam alam, selagi masih ada orang yang mau buang hajat di sungai, atau dalam jumlah tertentu bahan organik lainnya seperti sampah pertanian, kelangsungan ikan di sungai dan di laut akan kebutuhan pakan akan terjamin. Rutinitas mengganti air kolam memang bisa menjadi pilihan. Tetapi ini akan meningkatkan bea operasional. Andai logika kolam ikan bisa menisbikan rutinitas ganti air, margin keuntungan berkolam ikan dipastikan akan jauh lebih besar.