Aplikasi Probiotik
Akuakultur sebagai upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan pangan telah dimulai ribuan tahun yang lalu, dan sejak era tahun 1970-an kegiatan tersebut nampak mulai berkembang. Kegiatan budidaya ikan mengalami perkembangan lebih pesat sekitar tahun 1980-an setelah manusia mulai menyadarai bahwa ketersediaan ikan dan produk-produk tangkapan dari alam menjadi semakin terbatas.
Fenomena penurunan hasil tangkapan nelayan terjadi di beberapa negara dan dirasa semakin menghawatirkan. Barnabe (1994) menyatakan bahwa kemampuan laut dalam memenuhi tangkapan yang berkesinambungan hanya terbatas sekitar 100 juta ton per tahun, sementara dengan terus meningkatnya populasi penduduk dunia jumlah tangkapan ikan tersebut tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan. Sebagai salah satu jawaban untuk menjamin ketersediaan sumber pangan adalah dengan pengembangan kegiatan budidaya.
Pada tahun 1995, produksi udang, ikan, moluska serta tumbuhan air mencapai total 120,7 juta ton (FAO, 1997). Dari angka tersebut kegiatan budidaya baru menyumbang sekitar 21 %. Indonesia sebagai salah satu negara terbesar dalam produksi hasil perikanan tentunya selalu berusaha meningkatkan produksinya dari kegiatan budidaya baik melalui upaya intensifikasi maupun ekstensifikasi.
Upaya ekstensifikasi untuk wilayah Jawa, Bali dan Sumatera akan semakin sulit dilaksanakan karena adanya persaingan atas penggunaan lahan dengan sektor lain. Langkah intensifikasi tentunya harus ditempuh untuk meningkatkan produksi walaupun dengan berbagai konsekuensi yang ditimbulkan, di antaranya terjadinya penurunan kualitas lingkungan.
Di Indonesia, kegiatan budidaya ikan pernah mengalami permasalahan yang hebat di era 1980-an ketika terjadi wabah Aeromonas hidrophila yang menyerang ikan. Sedangkan budidaya udang mengalami goncangan yang dahsyat di saat berbagai penyakit melanda tambak-tambak di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Rangkaian kegagalan karena serangan penyakit di tahun 1995-an mengakibatkan sejumlah tambak di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak lagi dapat difungsikan untuk memelihara udang windu.
Terakhir, serangan koi harves virus (KHV) yang menyerang golongan ikan mas pada tahun 2002 hingga 2004 lalu sempat menggoncangkan kegiatan perikanan Indonesia (Sunarto, 2005). Kerugian materi yang dialami oleh para pembudidaya ikan tawar tersebut sangat besar karena ikan mas termasuk ikan yang populer dan budidayanya tersebar luas di Indonesia (Taukhid dkk., 2005).
Permasalahan Lingkungan dalam Budidaya Perikanan
Kegiatan budidaya secara intensif di Indonesia mulai digalakkan pada tahun 1980-an. Upaya peningkatan produksi baik melalui peningkatan kepadatan ikan atau udang yang dibarengi dengan penerapan teknologi, dukungan sarana produksi serta pemberian pakan buatan secara intensif terus digalakkan. Dampak atas perkembangan tersebut dalah penurunan daya dukung lingkungan budidaya.
Pembukaan lahan untuk budidaya tambak telah mengabaikan konsep ekosistem dan keseimbangan. Pembabatan hutan mangrove, yang merupakan green belt bagi ekosistem pantai dan tempat ikan memijah, marak dan tidak terkontrol. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya berbagai permasalahan baik masalah abrasi daratan maupun gangguan atas keseimbangan ekosistem.
Akuakultur dengan penerapan sistem intensif, seperti budidaya udang windu (Penaeus monodon) di sebagian besar tambak wilayah pantura Jawa, beberapa tahun yang lalu telah menimbulkan masalah yang fatal. Timbunan bahan organik, dari sisa pakan, pupuk organik, dan ekskresi ikan atau udang, yang mengendap di dasar tambak apabila tidak dibarengi dengan sistem pengelolaan air yang baik akan memacu penurunan daya dukung tambak bagi kehidupan udang, khususnya algal bloom yang menyebabkan deplesi oksigen dan keracunan pada ikan.
Penggunaan desinfektan dan antibiotik sebagai langkah pengobatan atas serangkaian wabah penyakit juga memunculkan masalah baru dalam dunia budidaya. Desinfektan, dengan sifatnya yang tidak spesifik, terkadang tidak hanya mematikan organisme sasaran. Aplikasi desinfektan pada dosis yang tidak tepat dapat mematikan biota lain yang pada hakekatnya turut menjaga keseimbangan ekosistem kolam atau tambak.
Dampak atas kerusakan ekosistem tambak dirasakan sangat menyusahkan bagi para petani udang windu di daerah Karawang, Indramayu, Tegal, dan wilayah lain baik di jawa maupun Sumatera. Tambak udang yang pada tahun 1980 - 1990 menjadi sandaran hidup dan sumber kemakmuran kini banyak yang terbengkelai. Usaha untuk menanam benih udang windu dengan padat tebar rendah serta penerapan sistem polikultur dengan ikan bandeng menjadi alternatif untuk memanfaatkan lahan tambak yang ada. Namun demikian permasalahan kematian udang umur 2 bulan (± 10 g) masih sering terjadi.
Penerapan antibiotik pada dosis rendah dalam kurun waktu yang panjang telah menciptakan resistensi patogen terhadap antibiotik tersebut dan berakibat pada wabah yang besar (Verschuere et al. 2002), sebagaimana yang melanda dunia perudangan Indonesia di era 1990-an. Perlu diketahui bahwa antibiotik adalah spesifik bagi pengendalian serangan penyakit bakterial saja, sehingga sebelum aplikasi antibiotik pada tambak yang terserang penyakit harus dipastikan terlebih dahulu mikroorganisme penyebabnya.
Probiotik dalam akuakultur
Sampai saat ini pengendalian penyakit dalam kegiatan budidaya ikan atau udang di Indonesia masih mengandalkan pada penggunaan disinfektan dan antibiotik, meskipun tingkat keberhasilannya relatif kecil (Subasinghe, 1977 dalam Irianto, 2003).
Penggunaan antibiotik yang tidak bijaksana telah meningkatkan kekhawatiran terhadap produk perikanan dan kesehatan manusia. Beberapa negara maju yang merupakan negara pengimpor produk perikanan Indonesia seperti Jepang dan Amerika Serikat telah secara tegas melarang masuknya produk perikanan yang mengandung residu antibiotik (Watson et al. 2008).
Murdjani (2004) menyatakan bahwa di era globalisasi pemasaran produk ke pasar internasional harus memenuhi beberapa kriteria, di antaranya adalah tidak mengandung residu antibiotik, pestisida serta bahan kimia lain, seperti hormon. Hal tersebut merupakan sinyal bagi kita untuk secara bertahap meninggalkan penggunaan antibiotik menuju sistem pengendalian penyakit yang lebih ramah lingkungan dan kesehatan (Chytanya et al. 2002: Devaraja et al. 2002; Irianto & Austin 2002: Haryanti et al., 2003; Isnansetyo 2005; Muliani 2005; Susanto et al., 2005; Farzanfar 2006; Watson et al., 2008).
Probiotik menurut Fuller (1987) adalah produk yang tersusun oleh biakan mikroba atau pakan alami mikroskopik yang bersifat menguntungkan dan memberikan dampak bagi peningkatan keseimbangan mikroba saluran usus hewan inang.
Sementara Gram et al. (1999) mendefinisikan probiotik sebagai segala bentuk pakan tambahan berupa sel mikroba hidup yang menguntungkan bagi hewan inangnya melalui cara menyeimbangkan kondisi mikrobiologis inang.
Adapun Verschuere et al. (2000) dan Farzanfar (2006) mendefinisikan probiotik sebagai penambahan mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi inang melalui modifikasi bentuk asosiasi dengan inang atau komunitas mikroba lingkungan hidupnya.
Sementara Gram et al. (1999) mendefinisikan probiotik sebagai segala bentuk pakan tambahan berupa sel mikroba hidup yang menguntungkan bagi hewan inangnya melalui cara menyeimbangkan kondisi mikrobiologis inang. Adapun Verschuere et al. (2000) mendefinisikan probiotik sebagai penambahan mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi inang melalui modifikasi bentuk asosiasi dengan inang atau komunitas mikroba lingkungan hidupnya, meningkatkan nilai nutrisi pakan, dan meningkatkan kualitas air.
Menurut Fuller (1989) dan Farzanfar (2006) agen biologis disebut probiotik yang baik apabila memenuhi karakter sebagai berikut : 1) menguntungkan inangnya, 2) mampu hidup walaupun tidak tumbuh di intestinum inang, 3) harus dapat hidup dan bermetabolisme di lingkungan usus, resisten pada suhu rendah dan asam organik 4) dapat disiapkan sebagai produk sel hidup dalam skala besar (industri), 5) dapat menjaga stabilitas dan sintasannya untuk waktu yang lama baik dalam penyimpanan maupun di lapangan, dan 6) tidak patogenik dan tidak menghasilkan senyawa toksik.
Jenis dan mekanisme kerja probiotik pada organisme akuatik
Berbagai produk probiotik untuk aplikasi perikanan telah bayak dipasarkan dengan berbagai variasi penggunanya, namun secara mendasar model kerja probiotik dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
- 1. Menekan populasi mikroba melalui kompetisi dengan memproduksi senyawa-senyawa antimikroba atau melalui kompetisi nutrisi dan tempat pelekatan di dinding intestinum.
- 2. Merubah metabolisma mikrobial dengan meningkatkan atau menurunkan aktifitas enzim pengurai (selulase, protease, amilase, dll)
- 3. Menstimulasi imunitas melalui peningkatan kadar antibody organisme akuatik atau aktivitas makrofag (Irianto, 2003).
Sementara itu, Thye (2005) menambahkan bahwa selain melalui mekanisme di atas probiotik dapat bekerja melalui mekanisme penguraian senyawa toksik yang berada di perairan seperti NH3, NO2, NO3, mengurai bahan organik, menekan populasi alga biru-hijau (blue-green algae) , memproduksi vitamin yang bermanfaat bagi inang, menetralisir senyawa toksik yang ada dalam makanan serta perlindungan secara fisik inang dari patogen.
Sedangkan Fuller (1992) menyatakan bahwa probiotik dianggap menguntungkan karena menghambat kolonisasi intestinum oleh mikroba yang bersifat merugikan baik melalui mekanisme kompetisi nutrien maupun kompetisi ruang serta mampu memproduksi senyawa-senyawa yang bersifat antimikrobia. Probiotik bersifat menguntungkan bagi inangnya karena mampu memperbaiki nutrisi dengan memproduksi vitamin-vitamin, detoksikasi pangan maupun melalui aktivitas enzimatis.
Probiotik sebagai agen pengurai (bioremediation) merupakan kelompok mikroorganisme terpilih yang menguntungkan seperti Nitrosomonas, Cellumonas, Bacillus subtilis dan Nitrobacter. Dalam aplikasinya di dunia perikanan, probiotik sebagai agen pengurai dapat digunakan baik secara langsung dengan ditebarkan ke air atau melalui perantaraan makanan hidup (live food). Jadi melalui penambahan bakteri yang menguntungkan ke kolam atau bak pemeliharaan kualitas air dapat ditingkatkan.
Penggunaan probiotik jenis ini telah lama diterapkan pada tambak-tambak pemeliharaan udang windu seperti super NB yang merupakan koloni bakteri Bacillus yang mampu menguraikan senyawa nitrit dan super PS yang merupakan koloni bakteri sulfur khemoototrof seperti bakteri Thiobacillus yang mampu menguraikan senyawa H2S yang bersifat toksik bagi udang. Moriarty (1998) menggunakan probiotik yang mengandung Bacillus spp. untuk tambak udang penaeid di Indonesia dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas air melalui dekomposisi materi organik, menyeimbangkan komunitas mikroba serta menekan pertumbuhan patogen sehingga menyediakan lingkungan yang lebih baik bagi kehidupan udang.
Melalui penggunaan probiotik selama 160 hari pemeliharaan ternyata kehidupan udang lebih baik sehingga dapat diperoleh panen lebih tinggi, sedangkan tambak yang tanpa aplikasi probiotik Bacillus spp. mengalami kegagalan karena serangan Vibrio luminesence.
Banyak senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh mikroba memiliki aktivitas imunostimulan pada hewan akuatik, misalnya Lipo Poli Sakarida (LPS), peptidoglikan dan glukan. Penggunaan probiotik sebagai suplemen pakan ikan atau udang juga menunjukkan aktivitas imunostimulasi, paling tidak terlihat dari aktivitas lisozim yang mampu merusak dinding sel bakteri (Irianto, 2002).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widanarni (2004) menyatakan larva udang windu yang diberi pakan berupa artemia yang telah diperkaya dengan probiotik (bakteri Vibrio alginolyticus) pertumbuhannya mengalami peningkatan dibandingkan konrol yang tanpa pengkayaan. Dikatakan pula bahwa termasuk mekanisme kerja dari probiotik adalah melalui perlindungan tubuh larva sehingga bakteri V. harveyi tidak mampu melekatkan diri melekatkan diri ke tubuh udang.
Di Negara-negara maju, penggunaan probiotik pada budidaya perikanan telah berkembang cukup lama. Produk-produk probiotik yang ditawarkan juga bermacam-macam baik merk dagang maupun spesifikasi kegunaannya, di antaranya Aqualact, Probe-la, Lacto-sacc Epicin, Biogreen, Environ, Wunopuo-15, dan Epizyme.
Di Indonesia penggunaan probiotik pada komoditas komersial seperti udang windu juga telah dimulai belasan tahun yang lalu. Beberapa produk probiotik yang beredar di pasaran, seperti Actizyme yang mampu meningkatkan nilai nutrisi pakan, Aqua-10 Dry, Aqua Simba dan EM4 (Effective Microorganisme -4 ) yang berguna untuk memperbaiki kualitas air pemeliharaan, juga telah banyak digunakan oleh para petambak udang.
Di samping mikroorganisme dari golongan bakteri, ternyata beberapa jenis mikroorganisme dari golongan yeast dan mikro algae juga dapat digunakan sebagai bahan probiotik dalam akuakultur. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Sacharomices cerevicae (Yeast) mampu meningkatkan tingkat kekebalan juvenil udang penaeid sehingga pertumbuhan dan sintasan yang diperoleh lebih baik (Scholz et al., 1999 dalam Thye, 2005). Sedangkan Austin et al. (1992) menyatakan bahwa Tetraselmis sp. yang merupakan golongan mikro algae mampu menekan insidensi penyakit bakteria karena alga ini memiliki kemampuan menghasilkan senyawa antimikroba.
METODE PRAKTIS MEMILIH DAN APLIKASI PROBIOTIK
Aplikasi probiotik yang tidak tepat jenis dan prosedur penggunaan berdampak pada tidak tercapainya tujuan penggunaan probiotik tersebut. Keluhan konsumen yang menyatakan bahwa beberapa produk probiotik komersial tidak efektif sebagaimana klaim yang produsen nyatakan pada kemasan produk sudah bukan hal aneh.
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah menurunnya kelangsungan hidup (viability) dan kemampuan mikroorganisme penyusun produk probiotik selama waktu penyimpanan; kurang sesuainya lingkungan fisika-kimia kolam atau tambak bagi mikroorganisme probiotik komersial; dan dosis dan waktu aplikasi yang kurang tepat.
Oleh karena itu, beberapa hal mengenai produk probiotik harus diketahui dengan benar sebelum kita memilih produk tersebut.
Bagaimana memperoleh probiotik yang tepat?
Efektivitas penggunaan bakteri probiotik untuk mengendalikan mikroorganisme patogen sangat dipengaruhi oleh jenis bakteri yang digunakan (Moriarty 1999; Verschuere et al. 2000; Suprapto 2005). Hal tersebut, karena kehidupan bakteri sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Populasi bakteri pada lingkungan dengan kandungan nutrien dan fisika-kimia berbeda, secara umum akan berbeda pula (Madigan et al. 1997; Maier et al. 2000).
Kriteria lain yang harus dipenuhi untuk menjadikan mikroorganisme tertentu sebagai probiotik adalah kepastian bahwa mikroorganisme tersebut tidak patogenik dan menghasilkan senyawa yang bersifat toksik bagi hewan yang dipeliharan (Fuller, 1989; Farzanfar, 2006).
Oleh karena itu, beberapa bakteri indigenos dari saluran pencernaan ikan peliharaan dan air media pemeliharaan yang sudah melalui serangkaian uji dan skriining lebih berpotensi sebagai biokontrol terhadap populasi bakteri, meningkatkan digesbility terhadap pakan, dan agen bioremediasi dibandingkan strain atau produk probiotik komersial yang diperoleh dari habitat dengan karakteristik fisika-kimia berbeda. Mikroorganisme indigenous tersebut akan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan budidaya yang relatif sama dengan lingkungan tempat isolat diambil (Isnansetyo 2005).
Namun demikian, untuk mendapatkan isolat mikroorganisme yang dapat dijadikan sebagai probiotik, disebut probion, bukanlah pekerjaan yang mudah dan dapat dikerjakan dalam waktu singkat. Dukungan tenaga ahli, khususnya yang memahami bidang mikrobiologi, peralatan laboratorium yang memadai, dan biaya yang cukup besar merupakan faktor yang harus dipenuhi. Upaya isolasi dan seleksi mikroorganisme probiotik untuk akuakultur, khususnya untuk pengendalian hayati telah cukup lama dan banyak dilakukan di Indonesia
sumber: http://probioticaquaculture.blogspot.com/
http://blog.unsri.ac.id/ekaunsri2007/sr/62 dalam Indonesia Aqua Culture
PERLU KEDEWASAAN DALAM MEMAHAMI PERBEDAAN
13 years ago